Sunday 25 March 2007

Catatan Redaksi Edisi I

Selamat datang di Blog Majalah d-Jenar.

Para pengamat kepercayaan mitologi penguasa laut selatan atau Roro Kidul dengan berbagai macam pangilan Nyai, Ratu, Eyang, Kangjeng dapat dikategorikan ke dalam empat analisis pendekatan yaitu pendekatan akademis, pandangan insan LSM, agama, dan tradisi.

Akademisi melihat sebuah fenomena mitologi Jawa sangat penting untuk melihat peta kognitif masyarakat Jawa (Y.Argo Twikromo,2006) Para pengamat politik misalnya Ben Anderson yang kemudian diikuti oleh Fachry Ali melihat fenomena politik Indonesia baik di era rezim Soekarno (Orla) maupun era rezim Soeharto bahwa kebudayaan Jawa, baik yang berupa ajaran-konsepsi, mitologi maupun symbol sangat penting untuk memahami tingkah laku politik Indonesia, misalnya untuk memahami perilaku otoriter penguasa yang memunculkan seorang figur kuat. Ini termanifestasikan dari konsepsi akan “sakti” atau “power”, yaitu proses akumulasi kekuasaan ke sentrum, kekuasaan itu nyata dan kekuasaan terserap dari banyak elemen mulai dari sex sampai hal yang gaib.

Dari mitologi Sexual dalam tradisi Tantrayana misalnya symbol lingga-yoni yang di visualkan dalam Monument Nasional (Monas) adalah symbol kekusaan power, bahkan ketegangan daya tarik menarik sexual yang terdapat dalam patung Ardanari yang ditemukan di situs Majapahit yaitu patung yang berbentuk setengah laki-laki dan setengahnya perempuan, dia tidaklah banci tetapi simbol sakti, demikian ungkap Ben Anderson (Benidict R.O.G Anderson,1984). Dan dalam gaib sakral menurut konsepsi kekuasaan bisa dilihat dari bereberapa mitologi, misalnya mitologi Ken Arok menurut C.C Berg bahwa Ken Arok bukanlah tokoh historis, dia hanyalah tokoh simbolis untuk legitimasi kekuasaan dinasti Majapahit, supaya mereka mempunyai alur geneologi dari para dewa, karena Ken Arok dianggap titisan dewa Siwa dan Ken Dedes adalah titisan dewa Wisnu (C.C Berg,1974). Demikian juga pada dinasti Mataram yang memperoleh legitimasi kekuasaan adalah dari wangsit wahyu sebagaimana dalam epik Mataram epeisode Wahyu Degan Gagak Emprit dan pertapaan Kembang Lampir dan juga selubung gaib kekuasaan dengan perkawinan pendiri dinasti Mataram Islam dengan penguasa laut selatan Roro Kidul. Maka jadilah kekuasaan mempunyai kekuatan magis, barang siapa mampu mengendalikan aneka kekuatan kodrati dan adi kodrati, nyata dan gaib maka seseorang tersebut akan mempunyai kekuasan yang absolut.

Demikian banyak analis Akademis memahami mitologi Roro Kidul dalam katagori politis.
Analisa kedua di kalangan LSM, mereka melihat mitologi sebagai kearifan lokal atau local wisdom dan kearifan ekologi atau ecological wisdom, bahwa mitologi dipandang penting, karena di dalam mitologi tersebut tersirat nilai-nilai dedaktif edukatif yang ternyata dalam kasus-kasus kelestarian lingkungan Environmentalism banyak dibantu oleh mitologi- kepercayaan setempat (Naess,1989, Nash,1989. Dan dalam advokasi LSM mite-mite tersebut banyak digunakan sebagai metodelogi penyadaran konsientisasi.

Analisa ketiga di kalangan agamawan khususnya Islam, bagi orang Islam kebanyakan mitologi Roro Kidul ini merupakan permasalahan ambigiunitas, di satu sisi takut terjebak kepada paham syirik - penyekutuan Tuhan, di lain sisi adalah kenyataan social cultural yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Jawa yang juga beragama Islam, jalan yang ditempuh adalah mencari titik temu dengan cerita-cerita yang yang mengindentifikasi bahwa penguasa laut selatan adalah sebangsa jin muslim. Interpretasi ini bisa diindikasikan melalui cerita Taman Sari.

Dikisahkan bahwa Sultan Mangkubumi yang berkuasa dari tahun 1749 1792 bila hendak bertemu dengan Roro Kidul ia berada di Sumur Gumuling sebuah mushola bawah tanah di Taman Sari, pertemuan di mushola tersebut sering diinterpetasikan sebagai jin muslim. Dalam kepercayaan Islam juga diyakini akan eksistensi bangsa jin dan jin-jin tersebut diakui juga banyak yang beragama Islam. Diperkuat juga dengan ayat al-Qur'an “Bahwa aku ciptakan Jin dan Manusia hanya untuk beribadah”, maka konvergensi dua golongan memungkinkan bisa bersatu dengan menganggap eksistensi Roro Kidul sebagai sosok muslim (baca tulisan Herman A Makruf). Selain itu, Roro Kidul di kalangan muslim ada yang memaknai sebagai upaya islamisasi awal Jawa. Seperti dikisahkan akan mitologi Ratu Kidul dari Daerah Jawa-Barat tersebut bahwa putri Kerajaan Pajajaran yang telah menjadi dewi penguasa laut Selatan diramal bahwa suatu ketika akan datang seorang raja Jawa yang beragama Islam akan menikahinya. Ini di maknai sebagai legitimasi Islamisasi (baca tulisan Dr.Heddy Shri Ahimsa Putra).

Dan yang keempat adalah analisa dari kalangan masyarakat Tradisi, masyarakat tradisional adalah mereka yang menjiwai nilai-nilai Jawa yang dimanifestasikan dalam tradisi Kraton yang dianggap sebagai pusat budaya Jawa, mereka banyak dari golongan berpendidikan tinggi dan mereka kebanyakan menganggap mitologi Gusti Ayu Kangjeng Ratu Kidul demikian mereka biasa memanggilnya- sebagai “Faith” kepercayaan, diterima tanpa memerlukan pembuktian.

Bagi mereka keberadaan Roro Kidul adalah kesatuan entitas kekuasaan dinasti Mataram yang dibuat oleh para founding father Panembahan Senopati dan Sultan Agung, bahwa kekuasaan yang ada adalah kekuasaan bersama duplek Raja bekerja Ratu Kidul pun bekerja dan tidak bisa dipisahkan maka institusi Kraton ini bila tidak digunakan dipercaya akan membawa bencana (baca wawancara Drs. Harimurti Subanar).

Di samping peta para analis tersebut berkembangannya membawa wacana Roro Kidul ke dalam paradigma keilmuan, terutama ketika maraknya gerakan New Age dan Post Modernisme yang menerima fenomena tradisi ke dalam wilayah keilmuan dengan meletakan epoche (tanda kurung) untuk terus dieksplorasi, pemahaman akan Roro Kidul tidak berhenti sebagai fenomena histori-mitologi masyarakat Jawa, tetapi bisa dianggap sebagai pintu masuk spiritualitas Jawa, spiritualitas seperti ini ungkap Titus Burckhardt
”Ada ajaran-ajaran yang hanya dapat dipahami dari “dalam” melalui usaha pembaharuan atau penetrasi yang pada hakekatnya bersifat individual”
(Titus Burckhardt;1976).

Maka memahami spiritualitas Jawa tidak bisa lepas dari dunia transedental atau dunia kadewatan ini. Paralel dengan agama Hindu yang dikenal sebagai agama banyak Dewa Politheisme sebagai jalan spiritualnya, Spiritualitas Jawa atau Agama Jawa dalam terminologi Nails Mulder (Nails Mulder;1983) bisa ditarik secara epistemik kedalam kerangka epistimologi, bagi Zoetmulder dikatagorisasikan kedalam Pantheisme.
Dalam edisi perdana ini kami menghadirkan aneka macam pendekatan tentang Roro Kidul untuk membuka wacana mitologi tidak terjebak ke dalam diskursus a-produktif, tetapi membuka perspektif baru ke dalam wacana epistemologi seperti yang sudah diupayakan oleh Herman A Makruf dalam memberi landasan teoritis di edisi ini.

Gambar adalah cover edisi pertama #1/Mei/2007.